Senin, 08 Maret 2010

Takwil, Why Not


Oleh: Asyhari, M.A

Agar diperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap tema ini, patut diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ
Maknanya: “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (al-Qur'an) kepadamu (Muhammad). Di antara (isi) nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al-Qur’an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al-Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal”. (Q.S. Al Imran: 7)
Ayat-ayat Muhkamat adalah ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11) 
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Maknanya: “Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al-Ikhlas: 4)
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65) 
Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang belum jelas maknanya, atau ayat yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang relevan dengan ayat-ayat muhkamat. Di antara ayat mutasyabihat ini adalah seperti firman Allah:
الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى.  سورة طه :5
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّـيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ.  سورة فاطر :10
Makna ayat 5 surah Taha adalah bahwa Allah menguasai ‘arsy. Sementara makna ayat 10 dalam surah Fatir adalah bahwa dzikir seperti ucapan لا إله إلاّ الله akan naik ke tempat yang dimuliakan oleh Allah, yaitu langit. Dzikir ini juga akan mengangkat amal saleh. Pemaknaan seperti ini sesuai dan selaras dengan ayat muhkamat, sebagaimana disebut dalam surah al-Syura 11. Sangat tidak tepat jika ayat ini diartikan bahwa Allah berada di arah atas atau berada di suatu tempat, sebagaimana keyakinan kaum Musyabbihah, karena hal ini amat bertentangan dengan ayat-ayat lainnya yang muhkamat.
 
Jadi penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika memang berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabihat -dalam arti hal yang tidak diketahui oleh manusia- sebagaimana yang dimaksud dalam ayat:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ.  سورة ءال عمران : 7
adalah seperti saat kiamat tiba (bagi yang membaca waqaf pada lafzh al-Jalalah), dan waktu pasti munculnya Dajjal. Semua perkara seperti ini memang hanya diketahui oleh Allah dan tidak ada seorangpun manusia yang dapat mengetahuinya. Sedangkan ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh manusia, yaitu mereka yang berilmu adalah ayat-ayat semisal surah Taha 5 di atas, yang mana para ulama mengatakan bahwa makna ayat itu adalah Allah menguasai ‘arsy. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
 اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ
Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam al-Qur’an dan berimanlah terhadap yang mutasyabihat di dalamnya”. Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang muhkamat. Hadits ini dhaif dengan tingkat kedha'ifan yang ringan.
Seorang ahli hadits, pakar bahasa dan fiqh bermadzhab Hanafi, al-Imam al-Murtadla az-Zabidi dalam syarh Ihya’ ‘Ulum ad-Din yang berjudul Ithaf as-Sadah al Muttaqin mengutip perkataan Abu Nashr al Qusyairi dalam kitab at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah bahwa beliau mengatakan:
“Sedang firman Allah: ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ سورة ءال عمران : 7 yang dimaksud adalah waktu tepatnya kiamat tiba, sebab orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi Muhammad tentang tibanya kiamat. Jadi mutasyabih dalam konteks ini mengisyaratkan pada pengetahuan tentang hal-hal yang gaib karena memang tidak ada yang mengetahui peristiwa di masa mendatang dan berakhirnya semua hal kecuali Allah. Karenanya Allah berfirman:  هَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلاَّ تَأْوِيْلَهُ يَوْم يَـأْتِي تَأْوِيْلُهُ  الأعراف: 53. Maksudnya mereka tidak menunggu kecuali datangnya kiamat.
Dengan demikian, tidak rasional dan tidak logis jika seseorang kemudian berdalih menggunakan ayat tersebut lalu mengatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat hal-hal yang tidak bisa diketahui oleh seorang makhlukpun serta tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah. Pernyataan seperti ini tidak lain merupakan penghinaan terbesar terhadap misi-misi kenabian!. Ia seakan-akan mengatakan bahwa Nabi tidak mengetahui takwil sifat-sifat Allah dalam al-Qur’an lalu beliau berdakwah dan mengajak orang untuk mengetahui hal yang beliau sendiri tidak tahu! Bukankah Allah sendiri mensifati al-Qur’an: 
بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ
Maknanya : “Dengan bahasa Arab yang jelas”. (Q.S. asy-Syu’ara : 195)
Dari penjelasan Allah dalam ayat ini, maka mereka yang menolak adanya takwil ayat-ayat mutasyabihat, seakan-akan mengatakan bahwa Allah telah berdusta karena mengatakan “بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ”. Jika tidak, lalu di mana letak kebenaran penjelasan ini?!. Dan jika memang al-Qur’an ini berbahasa Arab lalu bagaimana bisa seseorang mengatakan bahwa di dalamnya ada hal-hal yang tidak diketahui oleh orang Arab sendiri?!.
Az-Zabidi, seperti yang ia kutip dari al Qusyairi  kemudian melanjutkan komentarnya: “Bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah  وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ, (dengan tidak membaca waqaf pada lafazh al-Jalalh) yang seakan Allah mengatakan “orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya”, karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan: “Saya termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya”.

Dua Metode Memahami Ayat Mutasyabihat
Pertama, Metode Salaf. Ulama salaf adalah sebutan bagi mereka yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Mayoritas ulama salaf mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara global (takwil ijmali), yakni dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah bahwa: “Dia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11).
Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i -semoga Allah meridlainya-:
ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ
“Aku beriman kepada semua perkara yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan aku beriman pada segala hal yang berasal dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah”, yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.
Namun demikian, tidak sedikit ulama salaf yang melakukan takwil tafshili. Adalah Imam al Bukhari, dalam shahihnya kitab tafsir al-Qur’an tertulis:
سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ اهـ.
“Surat al Qashash: “Tiap-tiap sesuatu akan binasa kecuali…Allah”  (al-Qashash: 88) yakni segala sesuatu akan binasa kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk atau kecuali amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya”. Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki permulaan), tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dengan demikian layak jika kekuasan-Nya itu tidak akan binasa.
Demikian juga imam Ahmad, salah seorang pemuka ulama salaf mentakwil dengan takwil tafshili firman Allah “وجاء ربّك”, ia mengatakan: “Yakni kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) datang”. Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i: “Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadis yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya”.
Komentar al-Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al-Hafizh Abu Sa'id al-‘Ala’i mengenai al-Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya al-Wasiyyu al-Mu’lam. Al-Hafizh Abu Sa'id al-‘Ala’i sendiri menurut al-Hafizh Ibnu Hajar: “Dia adalah guru dari para guru kami”. Beliau hidup pada abad VII Hijriyah.
Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al-Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan banyak tahu tentang keadaan imam Ahmad. Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang digelari oleh al-Hafizh ‘Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al-Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al-Muftari.
Kedua, Metode Khalaf. Ulama khalaf adalah generasi yang muncul setelah salaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis karena enggan menuruti perintah Allah untuk bersujud (memberikan hormat) pada Adam:
مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ . سورة ص : 75
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “yadayya” adalah al-‘inayah (perhatian khusus) dan al-hifzh (pemeliharaan dan penjagaan).

Dari uraian singkat ini, ditarik kesimpulan bahwa melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an bukanlah sesuatu yang tercela, atau bahkan masuk dalam kategori ta’thil (penafian terhadap sifat-sifat Allah) sebagaimana diteriakkan oleh kaum Musyabbihah. Takwil tiada lain merupakan sebuah upaya untuk memahami dan menjelaskan isi kandungan al-Qur’an. Semoga Allah menggolongkan kita termasuk orang-orang yang mengikuti hamba-hamba-Nya yang shalih. Amin

0 komentar:

Posting Komentar