Oleh: Zainul Muflihin, M.S.I
Teks Ayat
Teks Ayat
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Maknanya: “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. Q.S. al-Zumar (39): 9
Kosakata
يَسْتَوِي : Sama/Serupa
يَعْلَمُوْنَ : Mereka mengetahui
يَتَذَكَّرُ : Mengambil pelajaran
أولُوا الْأَلْباَب : Orang-orang yang berakal
Asbabun Nuzul
Tidak ada sebab khusus terkait dengan turunnya ayat ini, hanya saja para ulama tafsir menyatakan ada keterkaitan beberapa orang sahabat tertentu menyangkut potongan pertama ayat ini yang berbunyi:
Kosakata
يَسْتَوِي : Sama/Serupa
يَعْلَمُوْنَ : Mereka mengetahui
يَتَذَكَّرُ : Mengambil pelajaran
أولُوا الْأَلْباَب : Orang-orang yang berakal
Asbabun Nuzul
Tidak ada sebab khusus terkait dengan turunnya ayat ini, hanya saja para ulama tafsir menyatakan ada keterkaitan beberapa orang sahabat tertentu menyangkut potongan pertama ayat ini yang berbunyi:
اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ ءَانَآءَ الَّليْلِ سَاجِدًا وَقَآئِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهِ
Maknanya: “(apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?”. Q.S. al-Zumar (39): 9.
Setidaknya ada 5 pendapat mengenai siapa yang dimaksud dalam ayat ini, dimana ia gemar melakukan shalat malam. Riwayat dari Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa ia adalah Abu Bakar. Sementara Ibnu ‘Umar mengatakan ia adalah ‘Utsman bin ‘Affan. Sedangkan Muqatil menyebutkan ia adalah ‘Ammar bin Yasir. Ibnu al-Sa’ib berkata bahwa ayat ini berbicara mengenai 3 orang yakni Ibnu Mas’ud, ‘Ammar dan Shuhaib. Pendapat terakhir menyatakan bahwa iatidak lain adalah Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh Yahya bin Salam.
Sementara itu, al-Razi berpendapat bahwa akan lebih tepat jika sifat-sifat terpuji dalam ayat ini tidak hanya diberlakukan pada orang-orang tertentu saja, melainkan bisa juga disematkan pada orang Mukmin lainnya.
Pembahasan
Adanya aksentuasi antara orang yang tahu dengan yang tidak tahu, atau dengan kata lain antara orang yang pandai dengan orang bodoh dalam ayat ini amat jelas. Al-Alusi mengatakan bahwa ketinggian ilmu di atas kebodohan ditunjukkan oleh kalimat “hal yastawi”.
Menurut Abu Hayyan, bahwa “mengetahui” dalam ayat mencakup suatu pengetahuan yang dapat mengantarkan seseorang untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) dan menyelamatkan dirinya dari murka-Nya.menurutnya, ayat ini seakan-akan mengatakan bahwa tidaklah sama antara orang yang taat pada Tuhannya dengan yang gemar bermaksiat pada-Nya.
Setidaknya ada 5 pendapat mengenai siapa yang dimaksud dalam ayat ini, dimana ia gemar melakukan shalat malam. Riwayat dari Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa ia adalah Abu Bakar. Sementara Ibnu ‘Umar mengatakan ia adalah ‘Utsman bin ‘Affan. Sedangkan Muqatil menyebutkan ia adalah ‘Ammar bin Yasir. Ibnu al-Sa’ib berkata bahwa ayat ini berbicara mengenai 3 orang yakni Ibnu Mas’ud, ‘Ammar dan Shuhaib. Pendapat terakhir menyatakan bahwa iatidak lain adalah Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh Yahya bin Salam.
Sementara itu, al-Razi berpendapat bahwa akan lebih tepat jika sifat-sifat terpuji dalam ayat ini tidak hanya diberlakukan pada orang-orang tertentu saja, melainkan bisa juga disematkan pada orang Mukmin lainnya.
Pembahasan
Adanya aksentuasi antara orang yang tahu dengan yang tidak tahu, atau dengan kata lain antara orang yang pandai dengan orang bodoh dalam ayat ini amat jelas. Al-Alusi mengatakan bahwa ketinggian ilmu di atas kebodohan ditunjukkan oleh kalimat “hal yastawi”.
Menurut Abu Hayyan, bahwa “mengetahui” dalam ayat mencakup suatu pengetahuan yang dapat mengantarkan seseorang untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) dan menyelamatkan dirinya dari murka-Nya.menurutnya, ayat ini seakan-akan mengatakan bahwa tidaklah sama antara orang yang taat pada Tuhannya dengan yang gemar bermaksiat pada-Nya.
Sementara Ibn al-Jauzi menyatakan pengetahuan itu dalam konteks keyakinan akan adanya pahala dan siksa. Sedangkan Ibnu Katsir memahami ayat ini dalam konteks mentauhidkan Allah, bahwa orang yang murni mengesakan Allah tidaklah sama dengan orang yang menjadikan sekutu bagi-Nya, sesuai dengan ayat sebelumnya yang berbicara tentang sikap plin-plan manusia dalam beragama.
Urgensi dan keutamaan ilmu semakin jelas ketika al-Razi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa seorang mukmin mutlak butuh akan ilmu ketika ia mengetahui hakikat enam perkara, yaitu: 1) bahwa ia tak akan bisa mengerjakan kewajiban-kewajiban agama kecuali dengan ilmu; 2) bahwa ia tak akan mampu menjauhi larangan-larangan agama kecuali dengan ilmu; 3) bahwa ia tak akan dapat bersyukur kepada Allah kecuali dengan ilmu; 4) bahwa ia tak akan bisa membuat orang lain insaf (sadar dan kembali pada kebaikan) kecuali dengan ilmu; 5) bahwa ia tak akan mampu menghadapi dan menanggung semua cobaan di dunia kecuali dengan ilmu; dan 6) bahwa ia mustahil dapat melawan tipudaya syaitan kecuali dengan ilmu. Demikian mulianya kedudukan ilmu dan orang yang menuntutnya, sehingga Imam Syafi’i mengatakan: “Mencari ilmu itu lebih utama daripada shalat sunnah”. .................................... Maaf, Anda dapat melanjutkan membaca lengkap artikel ini dan mengunduhnya, klik di sini
0 komentar:
Posting Komentar