Senin, 04 Januari 2010

Hakikat Tawassul

Tidak ada satu dalilpun yang menunjukan bahwa tawassul dengan para nabi dan para wali Allah baik saat tidak hadirnya mereka maupun setelah mereka meninggal tidak diperbolehkan dengan alasan bahwa hal itu merupakan bentuk ibadah kepada selain Allah. Seseorang yang bertawassul dengan para nabi atau para wali, memanggil nama mereka, mencari berkah mereka dan meminta tolong pada mereka akan hal-hal yang wajar yang dapat dipenuhi oleh manusia lainnya tidak berarti bahwa ia beribadah pada selain Allah, dan hal itu bukanlah perbuatan syirik. Karena definisi ibadah menurut ahli bahasa tidak berlaku bagi masalah-masalah di atas, sebab ibadah secara definitif ialah ketaatan tertinggi yang disertai dengan ketundukan.

Al Azhari, salah seorang pakar bahasa terkemuka mengutip perkataan al Farra’ yang merupakan ahli bahasa paling mashur mengatakan: “Ibadah dalam bahasa Arab ialah ketaatan yang disertai dengan ketundukan. (lihat Lisan al ‘Arab, pada huruf ‘ain, ba’, dal). Sebagian ahli bahasa lainnya mengatakan: “Ibadah ialah puncak tertinggi kekhusu’an dan ketundukan”. Sebagian lainnya mengatakan: “Ibadah ialah puncak kehinaan”.



Pendapat-pendapat inilah yang benar secara bahasa dan kebiasaan. Merendahkan diri saja --tidak sampai puncaknya-- bukan merupakan ibadah kepada selain Allah, karena bila demikian maka mereka yang merendahkan diri di hadapan para raja dan pembesar telah menjadi kafir. Padahal telah sahih adanya sebuah hadis yang menyatakan bahwa Mu’adz Ibn Jabal ketika datang dari negeri Syam, ia bersujud di hadapan Rasulullah. Rasulullah lalu bersabda: “Apa yang engkau lakukan ini!”. Mu’adz menjawab: “Wahai Rasulullah, saya melihat penduduk Syam bersujud pada para betrik dan uskup mereka, padahal engkau jauh lebih mulia daripada mereka”. Rasulullah bersabda: “Jangan kamu lakukan ini, bila aku hendak memerintahkan seorang manusia bersujud kepada manusia lainnya, maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud bagi suaminya”. (H.R. Ibn Hibban, Ibn Majah dan lainnya)

Pengertian Tawassul
Tawassul dalam pengertian syara’ adalah:
طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا لِلْمُتَوَسَّلِ بِهِ
“Memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah, dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) mereka”.
Sebagian kalangan memiliki persepsi yang salah bahwa tawassul adalah memohon diciptakan manfaat dan dijauhkan dari mudlarat kepada seorang nabi atau wali dengan keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki adalah seorang nabi atau wali tersebut, padahal yang dapat mendatangkan manfaat dan madlarat hanyalah Allah semata. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat kelompok anti tawassul menghakimi orang yang bertawassul sebagai kafir musyrik. Padahal hakekat tawassul sesungguhnya adalah memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan jalan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan mereka.
Allah ta’ala telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh; Allah ta’ala sesungguhnya maha kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman yang maknanya:
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’". (Q.S. al Baqarah: 45)
Allah juga berfirman yang maknanya: “Dan carilah hal-hal yang (bisa) mendekatkan diri kalian kepada Allah” (Q.S. al Mai-dah: 35)
Ayat di atas memerintahkan untuk mencari segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah akan memenuhi permohonan-permohonan dengan sebab-sebab tersebut, padahal Ia maha kuasa untuk mewujudkan akibat-akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Dan Allah ta’ala telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba. Oleh karenanya kita bertawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah.
Tawassul adalah sabab syar’i yang menyebabkan dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau sudah meninggal. Karena seorang mukmin ketika bertawassul ia tetap meyakini bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya  secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah “sebab” dikabulkannya suatu permohonan dikarenakan kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup, Allah yang mengabulkan permohonan hamba, demikian pula setelah mereka meninggal Allah juga yang mengabulkan permohonan hamba, bukan nabi atau wali itu sendiri.
Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, ia tetap meyakini bahwa yang menciptakan kesembuhan adalah Allah sedangkan obat hanyalah sebab. Jika obat dalam contoh ini adalah sabab ‘aadi (sebab fisik), maka tawassul adalah sabab syar’i.  Seandainya tawassul bukan sabab syar’i, maka Rasulullah tidak akan mengajarkan seorang sahabatnya yang buta yang datang kepadanya agar bertawassul dengannya.

Landasan Tawassul
Di antara dalil dibolehkannya tawassul adalah hadis shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan kepada seorang buta untuk berdoa dengan mengucapkan:
اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّك مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ
“Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau terkait dengan hajatku agar dikabulkan”.
Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang ingin sembuh dari kebutaannya. Setelah berdoa sesuai apa yang diajarkan oleh Rasulullah padanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di majelis Rasulullah) dan kembali ke majelis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia  mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya.
Umat Islam senantiasa menyebutkan hadis ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadis juga menuliskan hadis ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani -beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": “Hadis ini shahih”-,  al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadis mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Hadis ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi pada saat beliau masih hidup, dan diperbolehkannya bertawassul meski tidak di depan beliau. Hadis ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadis tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadis ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang me-nasakh-nya.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abu Sa'id al Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda:
من خرج من بيته إلى الصلاة فقال : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ  أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا وَلاَ رِيآءً وَلاَ سُمْعَةً خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تَنْقُذَنِـي مِنَ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُوْنَ أَلْفِ مَلَكٍ" (رواه أحمد في المسند والطبراني في الدعاء وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي والحافظ الدمياطي وغيرهم). ومعنى "أقبل الله عليه بوجهه" ليس على ظاهره بل هو مؤول بمعنى الرضا عنه .
“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya”. (H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadis ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Dalam hadis ini juga terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadis ini adalah salah satu dalil Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk membantah golongan Wahhabi yang mengharamkan tawassul dan mengkafirkan pelakunya.

Catatan:
Di antara orang yang menyalahi Ahlussunnah dalam masalah ini adalah Yusuf al Qardlawi. Ia menyatakan bahwa bertabarruk dengan peninggalan orang-orang yang saleh termasuk syirik -wal 'iyadz billah- sebagaimana ia tuturkan dalam kitabnya yang bernama "al ‘Ibadah fi al Islam".
Kesesatan al Qardlawi yang lain adalah pernyataannya bahwa Rasulullah bisa saja salah dalam hal agama, seperti ia sampaikan lewat layar televisi al Jazirah, 12 september 1999. Al Qardlawi juga membolehkan bagi seorang perempuan yang masuk Islam untuk tetap menjadi istri suaminya yang kafir sebagaimana diangkat oleh Koran asy-Syarq al Awsath juga di situs-situs internet. Al Qardlawi juga melarang membaca al Fatihah untuk orang-orang Islam yang meninggal dunia, sebagaimana hal ini ia sampaikan lewat stasiun TV al Jazirah.
Banyak para ulama yang secara tegas telah membantah al Qardlawi, di antaranya adalah Syekh Nabil al Azhari, Syekh Khalil Daryan al Azhari, Mantan Menteri Agama dan Urusan Wakaf Emirat Arab Syekh Muhammad ibn Ahmad al Khazraji, Rektor al Azhar University Dr. Ahmad Umar Hasim, Dr. Shuhaib asy-Syami (Amin Fatwa Halab, Syiria), al Muhaddits Syekh Abdul Hayy al Ghumari, Dr. Sayyid Irsyad Ahmad al Bukhari dan lain-lain. Di antara ulama Indonesia yang membantah al Qardlawi adalah Habib Syekh ibn Ahmad al Musawa. Oleh karenanya, setiap muslim hendaknya mewaspadai karya-karya al Qardlawi.

0 komentar:

Posting Komentar