oleh: Khalil Muhyiddin, M.A
al-Imâm Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), nama yang sangat akrab dengan kita, seorang teolog, sufi besar, seorang yang ahli dalam banyak disiplin ilmu. Dalam kitab karyanya yang sangat agung; Ihya’ Ulumiddin, pada jilid pertama beliau menuliskan bab khusus tentang penjelasan akidah mayoritas umat Islam; akidah Ahlussunnah, yaitu pada bagian Qawa’id al-Aqa’id.
Di antara yang beliau tulis adalah sebagai berikut:
Di antara yang beliau tulis adalah sebagai berikut:
تعالى (أى الله) عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (إحياء علوم الدين، كتاب قواعد العقائد، الفصل الأول ج.1 ص. 108)
“Allah Maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci untuk dibatasi oleh waktu dan zaman. Dia ada tanpa permulaan, tanpa tempat, dan tanpa zaman, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan arah) ada seperti sediakala tanpa tempat dan dan tanpa arah” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h.108).
Pada bagian lain dari kitab tersebut al-Imâm al-Ghazali menuliskan: "Pokok ke empat; Adalah mengetahui bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat. Dia maha suci dari dibatasi oleh tempat. Arguman atas ini adalah bahwa setiap benda itu pasti memiliki tempat, dengan demikian ia membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dalam tempat tersebut. Juga sesuatu yang bertempat itu tidak lepas dari dua keadaan; menetap pada tempatnya tersebut atau bergerak pindah dari satu tempat ke tempat alinnya. Dan kedua sifat ini jelas merupakan sifat-sifat dari sesuatu yang baharu. Dan sesuatu yang tidak lepas dari kebaharuan maka berarti sesuatu tersebut adalah sesuatu yang baharu” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h. 127).
Masih dalam kitab Ihya’ al-Imâm al-Ghazali juga menuliskan:
الأصل السابع: العلم بأن الله تعالى منـزه الذات عن الإختصاص بالجهات، فإن الجهة إما فوق وإما أسفل وإما يمين وإما شمال أو قدام أو خلف، وهذه الجهات هو الذي خلقها وأحدثها بواسطة خلق الإنسان إذ خلق له طرفين أحدهما يعتمد على الأرض ويسمى رجلا، والآخر يقابله يسمى رأسا، فحدث اسم الفوق لما يلي جهة الرأس واسم السفل لما يلي جهة الرجل، حتى إن النملة التي تدب منكسة تحت السقف تنقلب جهة الفوق في حقها تحتا وإن كان في حقنا فوقا.
وخلق للإنسان يدين وإحداهما أقوى من الأخرى في الغالب فحدث اسم اليمين للأقوى واسم الشمال لما يقابله، وتسمى الجهة التي تلي اليمين يمينا والأخرى شمالا، وخلق له جانبين يبصر من أحدهما ويتحرك إليه فحدث اسم القدام للجهة التي يتقدم إليها بالحركة واسم الخلف لما يقابلها. (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128)
“Pokok ke tujuh; adalah berkeyakinan bahwa Dzat Allah suci dari bertempat pada suatu arah. Karena arah tidak lepas dari salah satu yang enam; atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Arah-arah tersebut diciptakan oleh Allah denga jalan penciptaan manusia. Allah menciptakan manusia dengan dua bagian; bagian yang megarah ke bumi yaitu bagian kakinya, dan bagian yang berlawanan dengannya yaitu bagian kepalanya. Dengan adanya pembagian ini maka terjadilah arah, bagian ke arah kakinya disebut bawah dan bagian ke arah kepalanya disebut atas. Demikian pula seekor semut yang merayap terbalik di atas langit-langit rumah, walaupun dlaam pandangan kita tubuhnya terbalik, namun baginya arah atasnya adalah bagian yang ke arah kepalanya dan bagian bawahnya adalah adalah bagian yang ke arah bawahnya.
Pada manusia kemudian Allah menciptakan dua tangan, yang pada umumnya salah satunya memiliki kekuatan lebih atas lainnya. Maka terjadilah penamaan bagi tangan yang memiliki kekuatan lebih sebagai tangan kanan. Sementara tangan bagian lainnya yang yang berlawanan dengannya disebut dengan tangan kiri. Juga Allah menciptakan bagi manusia tersebut dua bagian bagi arah badanya; bagian yang ia lihat dan ia tuju dengan bergerak kepadanya, dan bagian yang berada pada sebaliknya. Bagian yang pertama disebut arah depan semantara yang bagian sebaliknya disebut dengan arah belakang” (Ihya 'Ulumiddin, j. 1, h. 128).
Kemudian al-Imâm al-Ghazali menuliskan:
فكيف كان في الأزل مختصا بجهة والجهة حادثة؟ أو كيف صار مختصا بجهة بعد أن لم يكن له؟ أبأن خلق العالم فوقه ويتعالى عن أن يكون له فوق إذ تعالى أن يكون له رأس، والفوق عبارة عما يكون جهة الرأس، أو خلق العالم تحته فتعالى عن أن يكون له تحت إذ تعالى عن أن يكون له رجل والتحت عبارة عما يلي جهة الرجل، وكل ذلك مما يستحيل في العقل (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128)
“Dengan demikian bagaimana mungkin Allah Yang ada tanpa permulaan (azaly) memiliki tempat dan arah, sementara tempat dan arah itu sendiri baharu?! Bagaimana mungkin Allah yang ada tanpa permulaan dan tanpa tempat lalu kemudian berubah menjadi berada pada tempat tersebut?! Apakah Allah menciptakan alam yang alam tersebut berada di arah atas-ya?! Sesesungguhnya Allah maha suci dari dikatakan “arah atas” bagi-Nya. Karena bila dikatakan “arah atas” bagi Allah maka berarti Dia memiliki kepala. Karena sesungguhnya penyebutan “arah atas” hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kepala. Demikian pula Allah maha suci dari dikatakan “arah bawah” bagi-Nya. Karena bila dikatakan arah bawah bagi Allah maka berarti Dia memiliki kaki. Karena sesungguhnya penyebutan arah bawah hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kaki. Hal itu semua secara akal adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” (Ihya' 'Ulumiddin, j. 1, h. 128).
Dalam kitab al-Arba’in fi Ushuliddin, al-Imam al-Ghazali menuliskan:
وأنه لا يحل في شىء ولا يحل فيه شىء، تعالى عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (الأربعين في أصول الدين، ص 8)
“... dan bahwa Allah tidak bertempat di dalam sesuatu, dan tidak ada sesuatu apapun yang bertempat pada-Nya. Allah maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci dari dibatasi oleh waktu/zaman. Dia Allah ada sebelum terciptanya waktu dan tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan waktu) ada sebagaimana pada sifat-Nya azaly; tanpa tempat dan tidak terikat oleh waktu”. (al-Arba’in Fi Ushuliddin, h. 8)
KESIMPULAN:
Akidah Rasulullah, para sahabat, dan kaum Salaf saleh, serta keyakinan mayoritas umat Islam; Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”. Sangat tidak masuk akal, atau tepatnya kita katakan “tidak berakal”, bila ada orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada di langit atau di di arsy, seperti keyakinan orang-orang Wahhabiyah di masa sekarang. Bagaimana mereka berkeyakinan Allah berada di langit?! Juga berkeyakinan Allah berada di arsy?! Di dua tempat heh..?! Padahal mereka yakin bahwa langit dan arsy adalah makhluk Allah. Itu artinya dalam keyakinan mereka Allah bertempat pada makhluk-Nya sendiri. A’udzu Billah al-‘Alyy al-‘Azhim.
0 komentar:
Posting Komentar